Technopreneur

SEMPITNYA lapangan kerja dewasa ini telah membuka arena kompetisi yang ketat bagi setiap angkatan kerja. Tidak jarang rasa sumpek dan pengap menyergap bagi calon tenaga kerja yang harus berdesak‑desakan untuk mendapatkan peluang dalam bursa‑bursa kerja, baik yang diadakan lembaga‑lembaga konsultan, departemen tenaga kerja maupun perguruan‑perguruan tinggi.

Coba bayangkan untuk lowongan 2 orang tenaga sekretaris dari sebuah perusahaan harus diperebutkan oleh sekitar 300 orang pelamar. Sementara itu, untuk 1 lowongan staf pemasaran harus diperebutkan sekitar 200 pelamar. Bahkan untuk lowongan 1 orang staf pengajar kursus komputer pun harus diperebutkan sekitar 50 orang pelamar. Persaingan yang sangat fantastis!

Beban yang dialami oleh para calon tenaga kerja tampak semakin penat ketika tuntutan kebutuhan sehari‑hari terus meningkat. Bekerja! Bekerja! Bekerja! Kata itu terus terngiang‑ngiang dalam lubuk hati setiap tenaga kerja. Tidak jarang rasa penat, tegang dan gentar untuk menyongsong hari esok datang menyergap, serta membawa depresi dan keputusasaan.

Meskipun situasi persaingan sedemikian ketatnya, keinginan untuk mencari kerja masih sangat tinggi. Para calon tenaga kerja tidak ragu‑ragu untuk membekali diri dengan bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi, kursus keterampilan‑keterampilan tertentu, belajar bahasa Inggris atau Mandarin, mengikuti workshop‑workshop untuk mendalami tip‑tip dalam meraih lapangan kerja dan sukses karir. Bahkan, kalaupun sampai diminta untuk membayar sekalipun, mereka pun bersedia, asalkan mendapatkan pekerjaan.

Para tenaga kerja, bahkan lulusan perguruan tinggi sekalipun terus berupaya mencari lapangan kerja ke sana ke mari. Setiap kali sarjana baru diwisuda, langsung melegalisirkan minimal 10 lembar fotocopy ijazah untuk mengirimkan lamaran.
Mengapa para tenaga kerja tersebut terus berusaha mencari pekerjaan? Beberapa alasan berikut ini dikumpulkan dari hasil konsultasi atau curahan isi hati (curhat) dengan sejumlah orang dan peserta seminar enterpreneur yaitu: merasa tidak memiliki modal, pengalaman, relasi, belum mahir atau terampil, takut rugi, tidak dapat mengelola para karyawan, tidak memiliki jiwa atau minat bisnis, trauma terhadap kegagalan dan berasal dari lingkungan keluarga pekerja bukan pebisnis.

Menjadi technopreneur

Antrian mencari kerja sudah terlalu panjang, sedangkan kebutuhan harian tidak dapat dihentikan. Kini tiba saatnya untuk membuat keputusan dan bertindak untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tinggalkan sekarang juga dari antrian mencari kerja! Percayalah pada rahmat penyelenggaraan Illahi dan kemampuan diri Anda. Segeralah merintis jalan menjadi seorang technopreneur yang sukses!

Apa itu technopreneur? Kalau kata enterpreneur sudah tidak asing bagi kebanyakan orang, sedangkan kata technopreneur tampak masih asing. Technopreneur secara sederhana dapat diartikan sebagai seorang peminat teknologi yang berjiwa enterpreneur. Tanpa jiwa enterpreneur, seorang peminat teknologi hanya menjadi teknisi dan kurang dapat menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya.

Bill Gates yang mengawali keberhasilannya di sebuah garasi rumahnya, Linus Trovaldi yang mengawali debutnya dengan menggulirkan software open source Linux, Onno W. Purbo dan Michael Sunggiardi yang menggulirkan gagasan‑gagasan tentang warung internet (warnet), internet RT/RW dan majalah Neotek tampaknya dapat dinobatkan sebagai sosok‑sosok yang dapat menjadi panutan dalam mengembangkan jiwa technopreneur.

Angka kelahiran technopreneur tampaknya kian meningkat dari hari ke hari. Jika datang ke pameran‑pameran dan presentasi teknologi informasi (TI), maka akan didapati presenter‑presenter yang masih muda, tetapi tampil visioner, futuristik, bersemangat, energik, penuh gagasan, dan piawai dalam mendemonstrasikan kemampuannya untuk mengoperasikan dan memanfaatkan TI dalam berbagai bidang.

Kelahiran para technopreneur itu banyak didasari dengan sejumlah latar belakang, antara lain: idealisme untuk menciptakan lapangan kerja baru, mengubah peran teknologi tidak hanya sebagai alat bantu saja, melainkan sebagai sumber bisnis, menggali potensi diri untuk hidup mandiri, memiliki kebebasan berkreasi dan pendapatan tidak terbatas.

Dasar untuk sukses

Menjadi sukses tentu juga menjadi impian bagi setiap technopreneur. Namun sukses bukanlah sulapan. Untuk meniti tangga kesuksesan, maka seorang technopreneur harus memperhatikan dan mengembangkan 8 dasar utama yang sudah ada dalam diri para technopreneur dengan penuh percaya diri dan optimis.

Delapan dasar utama tersebut adalah: visi, semangat dan mental pemenang, cara pandang futuristik, berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan menajemen, kreatif dan berani memulai. Visi, semangat dan cara pandang futuristik merupakan dasar yang melahirkan daya gerak bagi seorang technopreneur untuk berkarya. Berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan manajemen akan menjadikan karyanya dapat bertahan bahkan berkembang. Kreatif merupakan dasar untuk menciptakan keunikan dan daya saing. Sedangkan tanpa keberanian untuk memulai, maka technopreneur hanya akan menjadi pemimpi.

Kini saatnya para peminat teknologi, khususnya teknologi informasi (TI) untuk menjawab kebutuhan kerja dengan menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya, bahkan dapat menciptakan lapangan kerja.

Hal itu merupakan tantangan sekaligus peluang bagi peminat teknologi yang berjiwa enterpreneur. Apalagi di Indonesia masih banyak peluang yang belum digarap secara optimal, seperti pengembangan industri software dan hardware, sistem informasi dan web, jaringan komputer dan telekomunikasi. Belum lagi gagasan‑gagasan yang telah terlanjur digulirkan oleh para technopreneur, tetapi juga belum digarap banyak, seperti e‑Government, e‑Business, e‑Education dan e‑Journalist.

www.bernas.co.id